Raise Your Words, not Your Voice

Tiga bulan terakhir ini, masyarakat dihebohkan dengan kasus penistaan agama dengan tersangka Gubenur DKI Jakarta petahana, Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Saya tidak akan membahas redaksional isi pidato Ahok yang multipersepsi itu, atau substansi gugatan massa terhadap masalah ini. Yang saya ingin telisik lebih dalam adalah cara kita menghadapi konflik.

Konflik. Rasanya mustahil jika tidak ada konflik dalam hidup bermasyarakat, terlebih dengan keanekaragaman suku, agama, dan budaya seperti di Indonesia. Jadi, daripada berharap tidak ada konflik, harapan yang lebih realistis adalah bagaimana kita, sebagai orang Indonesia, mengelola konflik. 

Pengelolaan konflik erat kaitannya dengan pola pikir. Berarti, ada pola pikir (mindset) tertentu yang harus kita bangun sehingga bisa menghasilkan output berupa pengelolaan konflik, yaitu :
1.Obyektivitas. Cara pengujiannya cukup mudah. Jika yang melakukan kesalahan tersebut adalah orang yang kita sukai/profilnya familiar dengan profil kita, apakah perlakuan kita akan sama? Jika ya, berarti kita obyektif. Penilaian kita juga akan terpusat pada "apa", bukan "siapa".
2.Open-minded, yaitu kemampuan dan kemauan melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang. Seringkali ketika kita sudah yakin akan sesuatu, kita lupa dengan kemungkinan bahwa ada pendapat lain yang juga benar, bedanya hanya dilihat dari sudut pandang lain.

Nah, apa implikasi dari mindset diatas? Salah satunya adalah kita bisa mengutarakan ide dengan argumentasi yang kuat dan sistematis, b bukan hanya adu argumen tanpa dasar. Hasilnya pun akan berbeda. Ide-ide "tajam" akan menghasilkan diskusi yang solutif, bukan hanya debat kusir yang penuh dengan "kata-kata"tajam".





Comments

Popular posts from this blog

Cultural Leadership

Menjemput Impian

Dear Future Hubby