Cuanki Jumat Pagi

Kuintip tirai jendela ruang tamu berulang-ulang. Diluar masih hujan deras. Hujan, Bandung, sendirian. Perpaduan yang bikin laper daripada baper*.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB. Belum ada tanda-tanda penjual makanan lewat. Beginilah resiko tinggal di kompleks, pedagang yang lewat depan rumah terbatas, bsik jumlah maupun macamnya. Kalau ingin banyak pilihan, harus keluar kompleks dulu. Dan saat hujan deras begini, tampaknya opsi keluar kompleks_atas nama kelaparan sekalipun_akan kalah dengan selonjoran di rumah, nonton TV sambil menunggu penjual.

Perutku mulai keroncongan. Padahal sejam yang lalu sudah kuisi dengan segelas teh hangat dan sepotong roti. Mitos bahwa perut orang Indonesia harus makan nasi dulu baru disebut sudah makan, memang terbukti padaku.

Jam 10.00. Jenuh dengan acara TV, kulihat linimasa facebook. Beberapa teman meng-update status tentang liburan mereka bersama pasangan. Nah, yang beginian bikin laper jadi baper. Kapan ya aku seperti mereka? Punya pasangan, berlibur, ah tampaknya menyenangkan sekali. Ingatanku melayang pada kejadian setahun lalu. Aku dan Ifan memutuskan untuk berpisah, tepat sebulan sebelum tanggal lamaran yang telah disepakati kedua keluarga. Aku memergokinya nge-date dengan perempuan lain. Berkali-kali dia meyakinkan aku kalau perempuan itu hanya teman, tapi hatiku terlanjur beku. Aku tidak sebodoh itu untuk membedakan body languange teman dan teman spesial.

Lamunanku tersentak oleh samar bunyi "toktok" dari arah ujung gang. Aha, akhirnya kelaparanku tertuntaskan. Semoga penjual bubur ayam atau ketupat sayur. Semakin dekat sumber suara, aku sadar tebakanku salah.

Di tengah deras hujan, terlihat penjual bakso cuanki memanggul dagangannya. jsianya sekitar 50 tahunan. Ya Rahman...dia tak memakai payung. Badannya mulai basah. Segera kupanggil dia untuk berteduh di teras rumah.

Baiklah, tak ada nasi dan sejenisnya, bakso cuanki pun jadi. Aku memesan 1 porsi komplit. Dia tampak bersemangat mencampurkan racikan. "Kenapa gak pake jas hujan atau payung, kang?", tanyaku pada akhirnya. Dia tersenyum.  "Jas hujan di rumah saya cuma 1 neng, tadi saya berikan ke anak saya, untuk dia pergi ke sekolah. Kalau payung, biasa dipakai istri untuk jualan di pasar", jawabnya ramah, tanpa kesan mengeluh. Aku merasa tertampar. Perjuangan bapak ini jauh dari kata mudah, tapi dia tidak menyerah. Sedangkan aku? Sebatas keluar kompleks saja, itupun untuk kepentingan diriku sendiri, malasnya minta ampun.

Masih dengan gaya bicara ringan, ia lalu bercerita tentang anaknya yang duduk di kelas 6 SD, yang ia doakan semoga masuk SMP negeri. Ia juga bercerita asal-usul kata "cuanki", yaitu cari uang jalan kaki. Aku bahkan tidak tahu jika "cuanki" adalah akronim.

Bakso cuanki-ku sudah siap. Aku bergegas kedalam untuk mengambil uang...dan jas hujan. "Ini dipakai ya, pak. Semoga dagangannya laris". "Aamiin. Tapi neng...nanti neng gak punya jas hujan lagi?". "Saya masih ada payung, pak". "Terima kasih ya, neng, semoga Allah membalas budi baik neng", tukasnya dengan sinar mata berbinar. "Sama2, pak".

Sampai suara toktok itu menghilang di tikungan, aku masih tertegun. Satu inspirasi baru telah kudapatkan Jumat pagi ini, melalui pedagang bakso Cuanki. Dalam hati aku berjanji, mulai hari ini aku tidak akan malas lagi.


*) baper : bawa perasaan, sensitif

Comments

Popular posts from this blog

Cultural Leadership

Menjemput Impian

Dear Future Hubby