Cultural Leadership

Pagi ini saya berdiskusi dengan seorang kenalan di facebook. Temanya apalagi kalau bukan politik. Dia pendukung Ahok garis keras, sementara saya netral. Netral disini bukan berarti abstrain. Aku memilih berdasarkan teori dan pengalaman kepemimpinan yang aku pelajari dalam 4 tahun ini. 

Menurut dia, Ahok adalah salah satu gubernur yang membawa perubahan besar dan signifikan bagi Jakarta. Dimulai dari penutupan kawasan Kalijodo secara tuntas, teratasinya masalah banjir, hingga meningkatnya kualitas transportasi umum. Untuk hal ini, saya mengakuinya. Yang membuat kami berbeda pendapat adalah, dia memimpikan gubernur daerah lain juga seperti Ahok. Apakah benar sesederhana itu? 

Saya masih ingat ketika tahun 2015 lalu Ridwan Kamil digadang-gadang untuk maju menjadi DKI 1, meski akhirnya beliau memilih tetap menyelesaikan masa jabatan sebagai walikota Bandung. Euforia saat itu cenderung mirip dengan Ahok versi teman saya di tas. Karena Ridwan Kamil bagus dalam memimpin Bandung, beliau juga pasti mampu membuat Jakarta menjadi lebih baik. Padahal, belum tentu. 

Sebagaimana kita ketahui, setiap pemimpin mempunyai spesifikasi berbeda-beda. Dan, itulah yang membuatnya menjadi tepat atau kurang tepat di suatu wilayah. Ridwan Kamil, misalnya. Dengan karakter Sunda yang kental, beliau bisa membaur dengan rakyat melalui banyolan di media sosial. Bandung, kini juga dikelilingi berbagai macam taman. Rakyat puas karena walikotanya memahami kebutuhan mereka. Namun, jika Ridwan Kamil melakukan gaya yang sama pada warga Jakarta, apakah sambutannya akan sehangat warga Bandung? Tidak. Mengapa? Karena warga Jakarta memounyai budaya berbeda dengan warga Bandung.  Dilihat dari karakteristiknya oun, Jakarta lebih banyak dipenuhi oleh pendatang dari seluruh pelosok tanah air. Jelas, ini lebih kompleks daripada Bandung. 

Kembali ke masalah Ahok yang bagi sebagian orang merupakan sosok pemimpin ideal. Bagi saya, ya mungkin ideal bagi Jakarta, tapi bagi daerah lain, tidak. Gaya Ahok yang blak-blakan jika misalnya ditempatkan pada warga Solo, misalnya, tentu dianggap terlalu keras. Solo membutuhkan pemimpin yang lembut dan kompromis. Sebaliknya, Jakarta jika menmounyai gubernur yang lembut, tentu kurang disegani. Demikianlah, probabolitas keberhasilan pemimpin tidak bisa disamaratakan, melainkan disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Menjemput Impian

Dear Future Hubby