Melodi

Apa yang kalian bayangkan ketika mendengar kata "melodi"? Lagu? Irama? Bagiku, kata "melodi" merangkum semua keindahan, layaknya sebuah orkestra. Apalagi ketika menjadi sebuah nama. Kesan pertamaku adalah pemilik nama ini tentu berparas cantik, anggun, dan tentu saja jauh dari genit.

Tapi..rasanya aku harus mengubah persepsiku. Hari ini Pak Wayan, walu kelasku, mengenalkan murid baru di kelas kami, Melodi. Nama boleh saja Melodi, tapi penampilan...aduh, jauh dari manis. Bahkan kesannya jutek. Sst, aku memang laki-laki, tapi teman-temanku mengakui bahwa aku cukup paham urusan cewek, termasuk menebak sifat dan apa maunya cewek. Eh, jangan berprasangka buruk ya. Aku laki-laki normal dan bukan tipe playboy. Hanya saja aku dibesarkan dalam lingkungan kakak adik perempuan, sehingga terbiasa dengan dunia perempuan. 

Bel pulang sudah berbunyi 10 menit yang lalu. Aku merapikan buku dan bergegas keluar kelas. Suasana kelas sudah sepi, hanya ada beberapa anak yang masih bercanda dengan gengnya. Tiba-tiba sebuah suara memanggilku dari belakang "Galang, tunggu!". Aku menoleh. Melodi? Ada urusan apa dia memanggilku? "Aku boleh pulang bareng kamu nggak?". Aku tersenyum sewajar mungkin. "Memang rumah kamu dimana?". "Jalan Nangka. Searah kan, sama rumah kamu di Jalan Mekar?". Aku terbelalak. "Kok kamu tahu alamatku, Mel?". Dia tertawa. "Hehe, tadi Nino cerita". "Ooh,okelah kalau begitu. Tapi kita naik angkot, gapapa?". Dia mengangkat tangan ke alis, "Siap, bos!". 

Sejak saat itu, aku jadi akrab dengan Melodi. Aku akui dia manis. Wajahnya oval. Rambutnya sebahu. Kulitnya sawo matang. Dan dia, salah satu dari sedikit cewek anti mainstream yang tidak berniat memakai produk pemutih. Yang penting bersih, katanya. Dalam hatiku, wah ini cewek berkarakter juga. Oia, walaupun berwajah manis, tapi kalau sudah ngambek..beuh, menyebalkan. Pernah sekali waktu aku lupa mengabari kalau aku tidak bisa oulang bersama, dia ngambek. Dia mendiamkan aku selama 2,5 hari. Alamak..kadang-kadang aku jadi berpikir, memang dia siapaku? 

Sementara itu, teman-temanku mulai bergosip ria bahwa aku dan Melodi pacaran. Awalnya aku menganggapnya angin lalu, namun lama-kelamaan risih juga. Akupun mulai agak menjaga jarak dengan Melodi. Beberapa kali aku mrnghindar jika diajak pulang bareng.

Hingga suatu hari...
Seperti biasa aku pulang terakhir. Sebagai ketua kelas, aku harus melapor ke wali kelas tentang keadaan kelas hari ini. Kurapikan buku2..eh, apa ini? Surat? Di sampul depan tertulis namaku, berarti memang untukku. Tapi siapa pengirimnya? Didesak oleh rasa penasaran, kubuka surat itu. Dan..isinya membuat jantungku seolah berhenti berdetak.

Melodi menyatakan cintanya padaku. Aku antara tersanjung dan bingung. Di satu sisi, memang aku nyaman bersama dia. Tapi di sisi lain, aku tidak yakin apakah ini cinta. Masa secepat ini? Dalam waktu sebulan, dan hanya karena pulang bareng? Aku tercenung.

"Dug..dug..dug.. Tok..tok..tok.. Laangg, banguun, nak!". Aku tersentak. Suara itu pasti ibu, yang mengetuk pintu kamar dengan sapu. 
Setengah sadar kuseret langkah menuju pintu. "Ya bu..". 
Aah, jadi..kisahku dengan Melodi tadi, hanya mimpi? Hmm, kulihat Melodi, kucingku, masih tertidur pulas di keset pojok kamar. Paling tidak aku punya Melodi satu lagi di hidupku, meski berwujud kucing.


Comments

Popular posts from this blog

Cultural Leadership

Menjemput Impian

Dear Future Hubby